Subscribe:

Astronomi

Jumat, 13 April 2012

Meski Bukan Piramida, Situs Gunung Padang Punya Potensi Wisata


Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Hamparan batu yang tertata di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (10/2). Situs Gunung Padang di ketinggian 894 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini merupakan peningalan peradaban Megalitik sekitar rentang waktu 2500 - 1500 SM dan merupakan situs megalitik terbesar se Asia Tenggara.


JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Katastrofik Purba yang dibentuk oleh Staf Khusus Kepresidenan Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam membuat penemuan mengejutkan beberapa waktu lalu. Mereka menduga bahwa Gunung Padang, seperti halnya Gunung Sadahurip, memiliki bangunan piramida. Lewat pengeboran sedalam 20 meter, tim menemukan 3 rongga beserta lapisan material pasir.

Bulan Biru dan Matahari Lavender

NASA Ilustrasi Bulan Biru
KOMPAS.com - Letusan Krakatau pada Senin 27 Agustus 1883 memang dahsyat. Kekuatan letusan gunung berapi tersebut mencapai 100 megaton bom nuklir dan 12.000 kali bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Letusan juga terdengar hingga sejauh 600 km sekeras meriam. Abu vulkaniknya mencapai stratosfer dan bertahan bertahun-tahun sesudahnya.

Bagaimana Lalat Bisa Terbang?


Lalat adalah seniman penerbangan sejati, meskipun hanya memiliki sayap yang kecil dibandingkan dengan ukuran tubuh mereka. Para ilmuwan di Institut Biokimia Max Planck di Martinsried dekat Munich, Jerman, baru-baru ini mengidentifikasi tombol genetik yang mengatur pembentukan otot-otot penerbangannya.
“Gen spalt sangat penting bagi generasi otot-otot super ultra-cepat,” tekan Frank Schnorrer, kepala kelompok penelitian ‘Muscle Dynamics’. “Tanpa spalt, lalat hanya membangun otot kaki yang normal, bukan otot untuk terbang.” Hasil riset ini kini dipublikasikan dalam jurnal Nature.
Dalam rangka untuk terbang secara efisien, lalat mengepakkan sayap kecilnya dengan sangat cepat. Hal ini menimbulkan suara dengungan yang bisa terdengar jika telinga kita berada di dekatnya. Lalat buah, Drosophila melanogaster, sayapnya bergerak pada frekuensi 200 hertz – yang artinya, otot-otot penerbangannya berkontraksi dan rileks sebanyak 200 kali per detik. “Sebaliknya, pelari seratus meter menggerakkan kakinya hanya beberapa kali per detik bagaikan siput,” kata Frank Schnorrer. Bagaimana lalat buah ini mengepakkan sayapnya pada frekuensi yang sedemikian tinggi?